Kami tunggu kreasi dan inspirasi Anda di farislasem@gmail.com

Rabu, 05 Mei 2010

Etika Politik, Masihkah ada ......????

Dalam pandangan masyarakat Indonesia partai politik memiliki stigma negatif. Partai politik lebih identik dengan sebuah institusi dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dengan melakukan berbagai cara. Padahal dalam UU No. 31/2002 tentang partai politik, dijelaskan bahwa partai politik merupakan organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa, dan negara melalui pemilihan umum. Dalam undang tersebut nampak jelas bahwa visi dari partai politik yaitu "memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara". Tetapi pada kenyataannya sekarang ini partai politik baru bisa melaksanakan visi yang pertama "memperjuangkan kepentingan anggota (tepatnya anggota, kolega dan keluarga)" dengan berbagai upaya dan cara untuk memperjuangkannya.
Keberadaan partai politik dalam negara yang menganut sistem demokrasi memang mutlak diperlukan. Dalam tataran idealitas, partai politik diharapkan mampu mengakomodir dan memperjuangkan kepentingan masyarakat sebagai wujud kepedulian terhadap bangsa dan negara. Keberadaan partai politik menurut Samuel P. Huntington merupakan wujud dari perilaku masyarakat modern, sedangkan masyarakat tradisional pada umumnya tidak memerlukan bahkan tidak mengenal adanya partai politik, sedangkan kelompok penguasa cenderung menganggap partai sebagai kekuatan pemecah belah dan mengancam otoritas mereka. Keberadaan partai juga dapat melengkapi berbagai rangsangan untuk melakukan tindak korupsi, namun dorongan untuk membangun partai yang berwibawa akan menggantikan segala bentuk kepentingan pribadi yang bersifat sektoral menjadi kepentingan umum yang melembaga. Dengan terakomodirnya kepentingan umum dan kehidupan dengan saling menolong, tangan yang di atas membantu yang di bawah, yang kuat membantu yang lemah, pemimpin membimbing bawahannya, serta rakyat mendapat jaminan akan hak-haknya. Walhasil, dalam kehidupan bermasyarakat, praktek saling bantu sesama manusia dapat terwujud, untuk secara bersama menuju kehidupan sejahtera yang menjadi idaman bagi setiap bangsa. Hanya saja, sering dalam kenyataan, muncul praktek-praktek moral yang tidak terpuji, yang menjadikan kehidupan bermasyarakat dan bernegara tidak sebagaimana yang diharapkan. Ada praktek perebutan kekuasaan, penindasan terhadap rakyat, pemusnahan hak-hak kewarganegaraan, persaingan antar pemimpin, konflik horizontal dan lain sebagainya, yang menjadikan institusi sosial berubah menjadi “arena pertarungan sengit”. Sementara rakyat yang menjadi korbannya, hanya karena segelintir para penguasa dengan vested interes-nya untuk tetap berkuasa dan tidak menanamkan kebajikan dan kendaraan yang mengantarkan umat manusia menuju kehidupan ideal yang dicita-citakan. Karena fenomena yang demikian maka praktek kebijakan para penguasa terhadap warga negaranya sering menjadi sorotan dan pembahasan yang tidak ada habis-habisnya.
Banyak tinjauan dari luar (yang hendaknya kita tolak begitu saja secara xenofobis) mengatakan bahwa negara kita adalah negara yang secara etis dan moral sosial politik dan ekonomi termasuk lunak. Dalam konteks inilah agaknya pembicaraan tentang etika politik menjadi relevan. Pentingnya pembahasan mengenai etika politik setidaknya karena tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik. Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan "perubahan harus konstitusional" menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja. Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan tersebut saling terkait. "Hidup bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga negara atau kelompok-kelompok dari perbuatan yang saling merugikan. Kebebasan warga negara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini dimaksudkan sebagai syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan konkret kebebasan (democratic liberties) yang meliputi kebebasan pers, kebebasan berserikat, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.
Digg Google Bookmarks reddit Mixx StumbleUpon Technorati Yahoo! Buzz DesignFloat Delicious BlinkList Furl

0 komentar: on "Etika Politik, Masihkah ada ......????"

Posting Komentar